Teks Khutbah Jum’at  “Meneguhkan Kemerdekaan, Menegakkan Keadilan”
8 mins read

Teks Khutbah Jum’at “Meneguhkan Kemerdekaan, Menegakkan Keadilan”

Teks Khutbah Jum’at

“Meneguhkan Kemerdekaan, Menegakkan Keadilan”

Oleh Dr. Derysmono, B.Sh., S.Pd.I., M.A.

(CEO adaustadzh.com, Ketua Harian PP HDMI, Direksi Lintasiman.com, Direktur Ma’had Aly Raudhotul Qur’an Azzam Sako)

 

Khutbah ke-1

الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا الله وَحْدَه لَاشَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ اْلمُبِيْن. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَـمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صادِقُ الْوَعْدِ اْلأَمِيْن. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

 

Hadirin Jama’ah Jum’ah yang dirahmati Allah

Alhamdulillah segala puja dan puji syukur atas nikmat Allah, dari sekian banyak nikmat yang Allah swt berikan adalah nikmat dapat memeluk agama Islam, semoga kita dapat memperoleh nikmat setelahnya yaitu nikmat istiqomah dalam Iman dan Islam ini.

Shalawat dan salam kepada Rasul mulia, teladan utama sepanjang masa, tiada lain adalah baginda Rasulullah saw,  pendidik sejati, telah mengisi sejarah peradaban manusia tentang arti kehidupan, pentingnya meraih keutamaan dunia untuk mendapatkan akhirat, teladan dalam menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari.

Hadirin yang dirahmati Allah

Pada kesempatan kali ini izinkan juga Khatib menyampaikan nasehat dan wasiat bagi diri khotib dan kepada hadirin yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah rasa sayang kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala takut kepada azabnya Allah dan senantiasa mengikuti dan melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi larangan-larangannya.

Hadirin yang dirahmati Allah

Izinkan khotib Pada kesempatan kali ini menyampaikan suatu tema yaitu Meneguhkan Kemerdekaan, Menegakkan Keadilan.

Hadirin yang dirahmati Allah

Bangsa dan Negara kita tak lama lagi akan memperingati hari deklarasi nya, yaitu 17 Agustus, sebagai wujud syukur dan terima kasih kepada Allah swt atas segala nikmat kemerdekaan yang telah diberikan.

Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah,

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan memerangi perbudakan dan penjajahan. Dalam Al-Quran ada Istilah “tahrir raqabah” atau pembebasan budak,  menurut Izz bin Abdissallam “{أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ} artinya membebaskan seseorang dari ikatan perbudakan menuju keadaan merdeka dan bebas.”[1]

Bahkan dalam penafsiran lainnya dalam QS. Az-Zukhruf ayat 32, Allah swt menjadikan kebebasan sebagai satu keutamaan dan karunia dari Allah swt yang diberikan kepada suatu kaum ketimbang kaum lainnya,

Beliau menafsirkan ayat inni وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ “{Dan Kami tinggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain} dengan keutamaan-keutamaan, atau dengan kemerdekaan …..”[2]

Kemerdekaan adalah nikmat agung dari Allah ﷻ. Ia bukan sekadar terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga kebebasan untuk menjalankan syariat Allah, beribadah tanpa takut, dan membangun kehidupan yang bermartabat.

Allah ﷻ menegaskan pentingnya kebebasan dari kezaliman:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka…” (QS. Hud: 113)

Meneguhkan kemerdekaan berarti menjaga agar negeri ini tetap aman, berdaulat, dan terhindar dari bentuk penjajahan baru—baik berupa ketergantungan ekonomi, kerusakan moral, maupun kebodohan yang membelenggu umat.

Kemerdekaan dan kebebesan adalah pilar dalam Islam, yang harus dijaga dan dipertahankan, karena dengan keduanyalah Islam akan tegak. Hal ini yang pernah disampaikan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam kitab mereka Tafsir Al-Manar,

“Dan janganlah kalian melupakan dua prinsip kebebasan dan kemandirian, karena keduanya adalah fondasi yang menjadi dasar tegaknya bangunan Islam.”[3]

Selain itu, Kemerdekaan dalam pandangan Islam bukanlah kebebasan yang liar tanpa batas, tanpa aturan, dan tanpa prinsip.
Kemerdekaan yang dimaksud adalah kebebasan yang terarah — bebas dari segala bentuk belenggu yang menghalangi manusia untuk menjadi hamba Allah yang sejati.

Artinya, kita mengalihkan seluruh keterikatan kita dari selain Allah, lalu menautkannya hanya kepada-Nya. Kita mengarahkan langkah kita mengikuti satu teladan, yaitu Rasulullah ﷺ, dan memegang satu pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an Al-Karim.

Islam menanamkan kemerdekaan di seluruh aspek kehidupan. Sebab umat yang merdeka adalah umat yang mulia dan kuat, memiliki sumber kekuatan sendiri, dan memiliki jalan hidup yang khas. Sebaliknya, umat yang kehilangan kemerdekaannya akan menjadi lemah, terombang-ambing, dan penuh kontradiksi.[4]

Kemerdekaan sejati juga melahirkan kestabilan dan kemajuan. Sebab, ia memindahkan manusia dari keadaan yang menyimpang menuju keadaan yang fitrah — sesuai dengan tabiat asal manusia. Dan Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah itu.

Contoh nyata dari peneguhan kemerdekaan dalam Islam terlihat pada kemerdekaan kepribadian umat Islam itu sendiri. Al-Qur’an menegaskan:

لَّا يَتَّخِذِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلۡكَٰفِرِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ

“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai wali selain orang-orang beriman.” (QS. Āli ‘Imrān: 28)

Kemerdekaan ini juga tampak ketika Allah memerintahkan pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Dahulu, orang-orang Yahudi mengejek Rasulullah ﷺ dengan berkata: “Lihat, Muhammad shalat ke arah kiblat kami, tapi agamanya berbeda dengan kami.”

Namun Rasulullah ﷺ merindukan arah yang mandiri bagi umat ini. Beliau sering menengadah ke langit, menantikan perintah dari Allah. Lalu turunlah firman-Nya:

“Sungguh Kami sering melihat wajahmu menengadah ke langit, maka pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram…” (QS. Al-Baqarah: 144)

Kemerdekaan dalam Islam bahkan diperhatikan sampai ke hal-hal kecil. Rasulullah ﷺ mengajarkan agar kita berbeda dari kebiasaan orang Yahudi yang diam ketika makan. Beliau menganjurkan kita berbicara dan bersyukur atas nikmat itu, sebagai tanda bahwa umat ini punya cara dan ciri khasnya sendiri.

Sayangnya, banyak kaum muslimin hari ini yang belum memahami betapa besar perhatian Nabi ﷺ agar kita menjadi umat yang merdeka — umat yang diikuti, bukan yang sekadar ikut-ikutan. Tidak sedikit yang justru mengadopsi gaya hidup Timur atau Barat, lalu meninggalkan kemuliaan Islam dan kehormatan sebagai pemimpin peradaban.

Kalau kita mau memahami makna kemerdekaan ini secara benar, kita akan menemukan bahwa kemerdekaan sejati itu melahirkan izzah (kemuliaan) dan karamah (kehormatan). Dengan kemerdekaan yang benar, umat ini tidak akan menjadi pengikut, tetapi akan kembali memimpin.

Hal ini yang pernah disampaikan syaikh As-Sya’rawi[5], Maka hati-hatilah kalian wahai manusia, jangan sampai kalian mengira bahwa iman datang untuk membatasi kebebasan kalian atau melarang kalian dari keinginan terhadap sesuatu. Sesungguhnya iman datang untuk meninggikan kebebasan dan meninggikan keinginan, sehingga manusia tidak mengambilnya secara sementara yang berakhir dengan berakhirnya dunia, tetapi agar manusia mengambilnya secara kekal selama langit dan bumi masih ada”.

Menegakkan Keadilan sebagai Tiang Kemerdekaan

Kemerdekaan yang sejati hanya dapat bertahan bila keadilan ditegakkan. Keadilan adalah perintah langsung dari Allah ﷻ:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90)

Apa yang dimaksud dengan Adil dan Ihsan?!, “Ibnu ‘Uyainah berkata: ‘Keadilan adalah kesamaan antara keadaan batin dan keadaan lahir. Sedangkan ihsan adalah ketika keadaan batinnya lebih baik daripada keadaan lahirnya.’”[6]

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ

“Manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi-Nya adalah pemimpin yang adil.” (HR. Tirmidzi)

Menegakkan keadilan bukan hanya tugas pemimpin, tetapi juga kewajiban setiap individu—dalam keluarga, di tempat kerja, di lingkungan masyarakat, bahkan di dunia maya. Tanpa keadilan, kemerdekaan akan rapuh, persatuan akan retak, dan keberkahan akan hilang.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Marilah kita memperkuat rasa syukur atas nikmat kemerdekaan ini dengan menjaganya melalui persatuan, kepedulian sosial, dan ketaatan kepada Allah. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang merdeka secara politik, tetapi terjajah secara moral dan akhlak.

Mari kita tegakkan keadilan di segala bidang: ekonomi, hukum, pendidikan, dan pelayanan publik. Ingatlah, Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa umat yang adil akan mendapatkan keberkahan dan pertolongan Allah.

Allah ﷻ mengingatkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…” (QS. An-Nisa: 135)

 بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

 

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا   أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ   اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

[1] Abū Muḥammad ʿIzz al-Dīn ʿAbd al-ʿAzīz ibn ʿAbd al-Salām ibn Abī al-Qāsim ibn al-Ḥasan al-Sulamī al-Dimashqī, Tafsīr al-Qurʾān (ikhtisar dari tafsir al-Māwardī), taḥqīq ʿAbd Allāh ibn Ibrāhīm al-Wahbī, 1st ed. (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 1996/1416 H), jild. 1, hal. 405.

[2] Abū Muḥammad ʿIzz al-Dīn ʿAbd al-ʿAzīz ibn ʿAbd al-Salām ibn Abī al-Qāsim ibn al-Ḥasan al-Sulamī al-Dimashqī, Tafsīr al-Qurʾān (ikhtisar dari tafsir al-Māwardī), taḥqīq ʿAbd Allāh ibn Ibrāhīm al-Wahbī, 1st ed. (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 1996/1416 H), jild. 3, hal. 154.

[3] Muḥammad Rashīd Riḍā, Tafsīr al-Qurʾān al-Ḥakīm (Tafsīr al-Manār), (Kairo: al-Hayʾah al-Miṣriyyah al-ʿĀmmah lil-Kitāb, 1990), jil. 5, hal. 73.

[4] https://saaid.org/Doat/brigawi/9.htm diakses pada tanggal 08 Agustus 2025.

[5] Muḥammad Mutawallī al-Shaʿrāwī, Tafsīr al-Shaʿrāwī – al-Khawāṭir, (Kairo: Maṭābiʿ Akhbār al-Yawm), jil. 6, hal. 3344.

[6] al-Ḥusayn ibn Masʿūd al-Baghawī, Maʿālim al-Tanzīl fī Tafsīr al-Qurʾān (Tafsīr al-Baghawī), tahqiq Muḥammad ʿAbd Allāh al-Nimr, ʿUthmān Jumuʿah Ḍamīriyyah, dan Sulaymān Muslim al-Ḥarash, (Riyadh: Dār Ṭayyibah li-al-Nashr wa-al-Tawzīʿ, 1417 H/1997 M), jil. 5, hal. 39.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *