Fatwa : Hukum Orang yang belum mengqadha (mengganti) Puasa Ramadhan yang lalu padahal sudah tiba Ramadhan berikut nya?
3 mins read

Fatwa : Hukum Orang yang belum mengqadha (mengganti) Puasa Ramadhan yang lalu padahal sudah tiba Ramadhan berikut nya?

ditulis oleh Dr. Derysmono, Lc., S.Pd.I., M.A.

Pertanyaan :

Bagaimana Hukum Orang yang belum mengqadha (mengganti) Puasa Ramadhan yang lalu padahal sudah tiba Ramadhan berikut nya?

Jawaban :

Kewajiban mengganti puasa Ramadan sebelum datangnya Ramadan berikutnya telah disepakati oleh para ulama. Mereka mengutip hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim

رواه البخاري (1950) ومسلم (1146) عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت: كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلا فِي شَعْبَانَ، وَذَلِكَ لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

dari Aisyah bahwa siapa pun yang telah membatalkan puasanya di bulan Ramadan harus menggantinya sebelum datangnya Ramadan berikutnya. Hal ini karena Rasulullah berada di tempat tersebut.

Al-Hafiz menyatakan bahwa dari kesungguhan Aisyah dalam mengganti puasanya di bulan Sya’ban, menunjukkan bahwa tidak boleh menunda penggantian sampai masuknya Ramadan berikutnya.

Ada dua situasi di mana seseorang menunda penggantian puasa Ramadan sampai masuk Ramadan berikutnya:

Pertama, jika seseorang menunda penggantian karena alasan tertentu, seperti sakit yang berlanjut hingga masuknya Ramadan berikutnya. Dalam hal ini, dia tidak berdosa karena ditunda karena keadaan yang memaksa. Yang harus dia lakukan hanyalah menggantinya (qadha’) kemudian.

Kedua, jika seseorang menunda penggantian tanpa alasan yang sah, meskipun mampu untuk melakukannya sebelum masuknya Ramadan berikutnya. Dalam hal ini, dia berdosa karena menunda tanpa alasan yang sah.

 

Para ulama sepakat bahwa orang yang harus mengganti puasa, namun mereka berbeda pendapat apakah dia harus memberi makan seorang miskin (fidyah) untuk setiap hari yang diganti atau tidak?

Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa dia harus memberi makan. Mereka mengacu pada riwayat dari beberapa sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas.

Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak wajib memberi makan bersamaan dengan mengganti puasa. Dia berdalil bahwa Allah SWT hanya memerintahkan penggantian puasa bagi yang telah membatalkannya, tanpa menyebutkan memberi makan. Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka (boleh berbuka) sebanyak hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185).

Pendapat kedua ini juga dipilih oleh Imam al-Bukhari. Dia menyatakan dalam kitab Shahihnya:

“Ibrahim (yakni: An-Nakha’i) berkata: Jika seseorang menunda hingga masuknya Ramadan berikutnya, dia harus menggantinya tanpa memberi makan (fidyah), dan disebutkan bahwa Abu Hurairah dan Ibnu Abbas mengatakan dia memberi makan. Kemudian al-Bukhari berkata: Allah tidak menyebutkan memberi makan, Dia hanya berkata: ‘sebanyak hari yang lain’.”

Syekh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa tidak wajib memberi makan:

“Pendapat para sahabat bisa dipertimbangkan jika bertentangan dengan tafsir yang jelas dari Al-Quran. Di sini, kewajiban memberi makan bertentangan dengan tafsir yang jelas dari Al-Quran, karena Allah SWT hanya mewajibkan penggantian hari yang terlewat, dan tidak lebih dari itu. Oleh karena itu, kita tidak boleh membebani hamba Allah dengan apa yang Allah tidak membebani mereka kecuali dengan bukti yang dapat membebaskan mereka dari dosa. Apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah bisa dimaknai sebagai sesuatu yang disukai, bukan sebagai sesuatu yang wajib. Jadi, yang benar dalam masalah ini adalah bahwa dia hanya wajib mengganti puasa, kecuali dia berdosa karena menunda.” (Al-Sharh Al-Mumt’i, 6/451).

Oleh karena itu, yang wajib hanyalah mengganti puasa, namun jika seseorang memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang diganti sebagai tindakan pencegahan, itu adalah baik.

Kesimpulan

Jika seseorang belum mengqadha’ puasanya, maka bagi nya membayar fidyah dan qadha’, jika sampai Ramadhan berikut nya belum juga mengqadha’nya. Namun ulama menekankan bahwa jika seseorang ada uzur membuatnya tidak bisa mengqadha’nya seperti sakit dan lain-lain maka yang diwajibkan mengqadha’nya saja tidak perlu mengeluarkan fidyah. tapi kalaupun untuk kehati-hatian maka dia mengeluarkan fidyah itu lebih baik. Jika kembali di tahun berikutnya dia belum mengqadha’nya maka dilihat alasannya. Wallahu’alam.

 

Sumber :

https://islamqa.info/amp/ar/answers/26865

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *